Penulis : Asep Muhidin, S.H (LBH APDAR)
TINTAJABAR.COM, GARUT – Pemilihan Kepala Desa di Kabupaten Garut didepan mata, sebanyak 217 Desa dari 40 kecamatan yang ada di Kabupaten Garut sedang berlangsung. Bahkan tidak menuup kemungkinan timbul permasalahan hukum, mulai dari administrasi maupun pidana.
Sebagaimana Peraturan Bupati Garut Nomor 11 Tahun 2021 tentang Pemilihan kepala Desa, terdapat persyaratan administrasi bakal calon yang harus dipenuhi. Seperti berpendidikan minimal Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Sebagaimana ketentuan dalam Pasal 36 huruf d Peraturan Bupati Garut Nomor 11 Tahun 2021 tentang Pemilihan kepala Desa. Dalam penafsirannya, bakal calon diwajibkan melampirkan fotocofy ijazah tingkat dasar hingga terakhir yang dilegalisasi oleh pejabat berwenang atau surat pernyataan dari pejabat yang berwenang.
Dalam hal surat pernyatan sebagainana disebutkan Pasal 38 ayat (3) huruf c Peraturan Bupati Garut Nomor 11 Tahun 2021 tentang Pemilihan kepala Desa, terdapat frase atau surat pernyataan dari pejabat yang berwenang. Tentu hal tersebut masih multitafsir. Karena tidak dijelaskan jenis surat pernyatan tersebut. Bisa saja pernyataan bahwa bakal calon pernah menempuh pendidikan formal disekolah tersebut atau pernyataan ijazah (bila bakal calon kehilangan ijazah). Atau harus keduanya ada.
Yang disebut dengan surat pernyataan adalah sebuah surat yang dibuat oleh seseorang yang berisi pernyataan yang terkait dengan dirinya ataupun menerangkan tentang orang lain bahwa orang tersebut sudah pernah ataupun tidak pernah melakukan sesuatu. Jadi tidak bisa surat pernyataan ini disatukan dengan pengganti (Ijazah) bagi sebuah dokumen atau surat negara yang hilang.
Karena memiliki perbedaan secara hukum administrasi. Sehingga apa yang disebutkan dalam Pasal 38 ayat (3) huruf c Peraturan Bupati Garut Nomor 11 Tahun 2021 tentang Pemilihan kepala Desa berpotensi adanya penyalahgunaan wewenang dari lembaga/instansi yang terkait dan bukan pengganti dokumen negara seperti ijazah yang notabene hilang.
Selain itu, dalam kewajiban hukum panitia pemilihan kepala desa tingkat desa dalam melaksanakan tugasnya, wajib melakukan tahapan-tahapan sebagaimana diatur dalam 39 Peraturan Bupati Garut Nomor 11 Tahun 2021 tentang Pemilihan kepala Desa. Diantaranya melakukan Penelitian kelengkapan dan keabsahan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai klarifikasi pada instansi yang berwenang yang dilengkapi dengan surat keterangan dari pejabat yang berwenang. (vide Pasal 39 ayat (3)) dan dalam ayat (7) nya menegaskan “Panitia Pemilihan mengumumkan hasil penelitian dan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6), kepada masyarakat untuk memperoleh masukan dengan tembusan kepada Camat.” Jadi hasil klarifikasi sifatnya WAJIB diumumkan kepada masyarakat.
Apabila itu tidak dilaksanakan oleh panitia, maka tentu secara administrasi panitia telah lalai mengabaikan kewajibannya dan hasilnya berupa ketetapan berpotensi cacat hukum atau dalam bahasa hukumnya cacat formil.
Cacat hukum dapat diartikan suatu perjanjian, kebijakan atau prosedur yang tidak sesuai dengan hukum yang berlaku, sehingga dikatakan cacat secara hukum dan tidak mengikat secara hukum. Contohnya suatu keputusan yang dinilai cacat hukum adalah Keputusan Presiden Nomor 87 tahun 2013 yang dibatalkan melalui Putusan Pengadilan TUNNomor 139/G2013/PTUN-JKT. Berdasarkan putusan tersebut antara lain diketahui bahwa Keppres yang pada intinya mengangkat Patrialis Akbar dan Maria Farida ini dinilai cacat hukum karena bertentangan dengan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi yang mensyaratkan pemilihan hakim konstitusi harus transparan dan partisipatif.
Nah ini dalam Pilkades seandainya panitia menetapkan tanpa menempuh tahapan-tahapan sebagaimana ketentuan (mengumumkan) dan menerima saran pendapat dari masyarakat termasuk keputusan panitia yang cacat. Apalagi hasil klarifikasi dari Panitia Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (13), disampaikan kepada masyarakat yang memberikan masukan. (vide pasal 39 ayat (14) Perbup Garut Nomor 11 Tahun 2021).
Selain itu terdapat perbedaan pula mana yang dikategorikan pelanggaran administrasi dan mana yang termasuk kategori pidana. Karena unsurnya berbeda. Contonya bakal calon kepala desa dibuat seolah-olah pernah sekolah di sekolah A, padahal kenyataannya bakal calon tersebut tidak pernah mengunyah pendidikan di sekolah A. itu termasuk pindana pemalsuan dan/atau memalsukan dan yang menggunakan surat palsupun dapat dipidana.
Tindak pidana pemalsuan surat secara umum diatur dalam Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), yang berbunyi:
1. Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
2. Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian
Dalam pemilihan kepala desa serentak ini, rawan terjadi malaadministrasi dan berpotensi kepada gugatan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara maupun pidana. Diakhir, penulis berharap dengan pemaparan yang singkat ini bisa memberikan gambaran kepada masyarakat umum dalam membedakan mana pelangaran administrasi, pidana dan kewajiban hukum.
(Frisca/TintaJabar.com)
Komentar