Anomali Politik dan Harapan Perubahan
Penulis oleh : Epi Zaenal Hanafi
TINTAJABAR.COM, GARUT – Tulisan berikut ini dilatari oleh sistem politik kita yang terjebak oleh budaya (anomali politik) dengan bercirikan fakta yang terjadi bahwa ‘berkuasa bukan untuk kepentingan rakyat, tetapi berkuasa bagi kepentingan pribadi (partai atau kelompok)’.
Seluruh perangkat atau infrastruktur politik kita, baik legislatif, yudikatif maupun eksekutif tidak berjalan fungsinya sebagai ‘balance of power’, saling koreksi dan seharusnya tidak ada diantara ketiganya yang memiliki kekuasaan sebagai ‘super body’. Kenyataan yang terjadi semua pejabat dan politisi yang berada di ketiga lembaga negara tersebut saling mengamankan posisi.
Kondisi anomali
politik di Republik ini menjadi tantangan bagi para politisi yang bervisi membangun ekosistem politik yang kondusif bagi terselenggaranya kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis.
Proses kehidupan bernegara yang anomali ini menurut penulis disebabkan beberapa faktor, diantaranya pertama munculnya istilah ‘petugas partai’. Ketika parpol pemenang pemilu ini berhasil pula mendudukkan kadernya sebagai presiden, maka kendali partai atas presiden dan koalisi pendukung presiden menjadi sempurna.
Koalisi parpol yang menguasai kursi di parlemen sekaligus koalisi pemenang pilpres menjadi semakin berkuasa dalam sistem Politik kita. Kita sangat mengapresiasi kepada PKS dan Demokrat mampu bertahan tanpa terkooptasi penguasa. Meskipun secara politik sudah tidak mungkin melakukan kontrol secara signifikan.
Faktor kedua yang membuat kehidupan bernegara tidak berjalan dengan baik adalah sistem kepartaian yang tidak kondusif dan demokratis.
Anggota partai (legislatif) dikebiri kekuasaannya oleh sistem kepartaian yang bersifat elitis dan monopolistik. Semua harus bersuara sama sesuai komando partainya. Nilai kebenaran hanya tergantung dari keputusan partai. Harapan munculnya sikap kenegarawanan politisi ketika mengawali jabatannya sebagai wakil rakyat semakin jauh dari Republik ini. Alih-alih memperjuangkan suara rakyat yang terjadi malah suara partai (elit bahkan oligarki) yang muncul.
Pada akhirnya anggota legislatif tidak ada pilihan lagi : jika mau tetap pada posisi, maka jadilah anak manis (boneka) yang selalu mengikuti keinginan bosnya. Jika tidak, siap-siap dikenakan pergantian antar waktu.
Kondisi sistem kepartaian kita dengan kekuasaan yang monopolistik ini, maka sangat dipahami ketika legislatif kita saat ini dikuasai oleh koalisi parpol penguasa akibatnya apapun kehendak penguasa akan dengan mudah mendapatkan legitimasi dari parlemen dengan lahirnya berbagai undang-undang sesuai dengan agenda penguasa. Proses legislasi berjalan mulus, nyaris tidak ada perlawanan. Suara oposisi hanya asesoris agar dunia mengetahui bahwa Indonesia menjalankan proses demokrasi.
Tidak mengherankan ketika penyusunan Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 (UU Pilkada) yang mengakomodir pemilu (pilkada) serentak 2024 dengan mengebiri proses demokrasi berjalan mulus.
Betapa ‘kejamnya’ Undang-Undang Pilkada hasil ‘proses demokrasi’ ini baru terasa saat Anies lengser. Anies, gubernur hasil proses demokrasi yang tidak mudah untuk meraih kemenangannya, begitu mudah digantikan oleh seorang pejabat gubernur hasil penunjukkan bukan hasil pemilihan.
Demikian pula baru-baru ini terdengar keinginan ketua umum parpol penguasa agar nomor urut parpol peserta pemilu tidak dirubah sesuai urutan pada pemilu 2019. Padahal keinginan tersebut bertentangan dengan undang-undang Pemilu.
Memang sangat menguntungkan bagi parpol pengusul ini. Memiliki nomor urut kecil mendapat peluang diakses lebih cepat dan praktis oleh pemilih yang tidak mau repot dan pragmatis. Tidak bisa dipungkiri faktor nomor urut kecil ikut membesarkan suara No. 1 PKB, No. 2 Gerindra dan No. 3 PDIP pada Pemilu 2019 kemarin.
Keinginan partai penguasa ini akan sangat merugikan bagi partai-partai yang memiliki nomor urut besar apalagi nomor urut buncit yang tidak mudah dijangkau pemilih. Keinginan yang ‘arogan’ dari partai penguasa inipula bisa dikatakan sebagai upaya ‘melumpuhkan’ parpol-parpol peserta pemilu baru yang tentu saja jika usulan ini lolos mereka akan mendapatkan nomor urut buncit dan yang mendekati buncit.
Meskipun menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) adalah hak Presiden, akankah presiden, yang diklaim sebagai petugas partai, mengeluarkan Perpu untuk mengakomodir keinginan partai induknya? Presiden sebagai kepala negara akan diuji kenegarawanannya. Mampukah dia menempatkan dirinya bersikap ‘adil’ dan taat asas dalam proses penyelenggaraan pemilu yang berasas jujur, adil, terbuka dan rahasia. Memperlakukan sikap yang sama kepada seluruh parpol peserta pemilu adalah sikap kenegarawanan yang selayaknya dilakukan seorang presiden.
Harapan besar perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara ke arah yang lebih baik adalah tergantung kepada ikhtiar relawan Anies dan kekuatan politik lainnya. Bagi relawan Anies, Anieslah kandidat presiden yang paling potensial kapasitasnya untuk membawa negeri ini lepas dari keterpurukan. Lepas dari kepanjangan kepentingan oligarki dan kepentingan asing yang telah mewarnai negeri ini.
Semoga Allah mudahkan segala ikhtiar para relawan Anies dan pejuang-pejuang politik lainnya. Koalisi Perubahan segera terbentuk dengan format cawapres yang mampu melipatgandakan kekuatan bagi kemenangan saat Pilpres nanti. Demikian pula relawan Anies dan parpol koalisinya mampu menampilkan diri sebagai kekuatan bangsa yang merajut kemajemukan dan mencegah keterbelahan bangsa.
Garut, 12 November 2022
(BungaKopi/Red)
Komentar