TINTAJABAR.COM, JAKARTA – Memasuki awal Tahun 2021, di Indonesia dihadapkan pada empat bencana besar yang merenggut banyak nyawa manusia. Mulai dari tanah longsor di Sumedang, Jawa Barat, Gempa bumi di Majene, Sulawesi Barat, banjir di Kalimantan Selatan, hingga Letusan Gunung Semeru, Jawa Timur.
Terkait itu, Pakar Mitigasi Bencana dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno menyebut, setidaknya ada lima pelaku utama yang harus saling bekerja sama dalam proses mitigasi bencana. Pelaku utama itu, antara lain adalah pemerintah, masyarakat, pelaku usaha, media serta akademisi.
“Kalau bicara mitigasi bencana, seharusnya memang para pihak, setidaknya ada lima pelaku utama harus bisa bekerjasama. yakni pemerintah, masyarakat, lembaga usaha, media, dan akademisi,” ujar Eko saat dihubungi, Minggu (17/1/2021
Dimulai dari pemerintah, kata Eko, akan mulai mengeluarkan kebijakan setelah menerima mandat dari masyarakat. Kemudian, masyarakat menyambut apa yang diberikan pemerintah, dan itu akan terus berjalan ketika para pelaku usaha memberikan dana bantuan.
“Pemerintah dengan mandatnya akan bekerja sama secara sendirinya, tetapi dia enggak akan bisa kalau enggak didukung oleh warga. Dan, di banyak kasus pasti didukung juga kan oleh lembaga usaha,” tuturnya.
Dia menuturkan, di setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, pastilah memerlukan naskah akademis, dan di situlah peran akademisi hadir. Lalu, tanpa media, sambungnya, kebijakan tersebut akan sulit sampai dan diterima oleh masyarakat.
“Kebijakan itu kan berbasis pengetahuan ya, maka semua kebijakan perlu naskah akademik, perlu riset. Penyebaran informasi yang baik itu kan juga butuh media,” katanya.
Dia menjabarkan, para pelaku utama mitigasi bencana itu, seharusnya juga selalu ingat akan tugasnya masing-masing. Sebagai contoh, kata Eko, yakni para pelaku usaha yang tidak boleh melakukan kegiatan-kegiatan yang akan merusak alam sekitar.
“Warga pun juga begitu, harus mandiri. Jangan berpikirnya terlalu meminta harus diservice. Sama juga dengan media, jargon lama bad news is a good news, itu tentu tidak selayaknya dilakukan di dalam konteks bencana,” tuturnya.
Dia menilai, banyaknya korban yang berjatuhan lantaran bentuk pembangunan yang dilakukan di sejumlah dserah tidak sesuai dengan tempatnya. Menurutnya, implementasi pembangunan itu bisa meniru di lokasi-lokasi rawan erupsi gunung berapi seperti.
Sedangkan, di bagian rawan tsunami, gempa, dan beberapa bencana lain belum dijadikan pertimbangan penting.
“Dalam pelaksanaan pembangunan misalnya di kawasan rawan gempa itu cenderung belum menjadi pertimbangan penting. Beda misalnya dengan kawasan erupsi gunung merapi, pertimbangannya lumayan serius, tsunami juga cenderung belum serius. Jadi hasil penelitian dan rekomendasi itu tidak cukup diimplementasikan dalam konteks pembangunan-pembangunan di daerah rawan,” paparnya.
Meski demikian, dia mengapresiasi sifat masyarakat Indonesia yang filantropi atau mencintai sesama. Hal itu lah yang sebenarnya menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk mengrarahkan masyarakatnya ke arah yang lebih baik.
“Kelebihan di Indonesia itu ya rasa filantropis, kemanusiaannya sangat tinggi. Ketinggian itu lah yang harysnya disyukuri dan apresiasi. Serta, perlu juga untuk diarahkan ke dalam hal-hal yang lebih baik,” ungkapnya.
(Okezone/TJC)
Komentar