Budaya Demokrasi Dalam Budaya Kita
Penulis oleh : Jacob Ereste
TINTAJABAR.COM, BANTEN – Jika anggapan tiga masalah utama demokrasi di Indonedia penyebab utamanya adalah politik uang (money politic), politik identitas, dan politik pitnah seperti yang dikatakan Agus Harimurti Yudhoyono, patut diperjelas yang bermain uang itu siapa, dan yang dimaksud politik identitas itu seperti apa, lalu fitnah siapa saja yang melakukan lalu mengapa tidak dibawa ke penyelesaian secara hukum ?
Kesan semua kebobrokan politik yang ditujukan kepada rakyat itu semakin tidak menjelaskan budaya politik di Indonesia. Karena pelaku politik terus kekeh dengan anggapannya yang selalu benar, sementara rakyat selalu dipososisikan pada pihak yang salah.
Karena itu, seruan untuk melakukan perlawanan budaya dalam kancah politik di Indonesia perlu dibangun dan diperkuat.
Masalah politik uang itu jelas berasal dari para politisi sendiri yang memperalat kemiskinan rakyat yang memang dibuat tak berdaya, agar bisa digoreng seperti bebek yang diinginkan oleh sang peternak. Artinya, kebusukan budaya politik di Indonesia harus disadari bermula dari perilaku politisi sendiri yang selalu ingin memperoleh keuntungan karena memang telah kerasukan iblis kapitalisme untuk selalu memposisikan rakyat sebagai bilangan yang bisa dikomersialkan untuk memperoleh keuntungan. Karena kualitas rakyat tidak terlalu menjadi soal, karena yang lebih diperingati adalah kuantitas jumlah yang bisa dilipat- gandakan untuk meraup keuntungan.
Tentu saja dalam ideologi politik kapitalisme tidak keuntungan bukan hanya sebatas nilai-nilai ekonomi semata, tapi juga nilai harkat dan martabat atau gengsi pribadi maupun partai yang diwakilinya meski semua itu semu belaka.
Kesan yang membuat kerusakan politik hingga budaya demokrasi yang runyam di negeri ini, selalu yang menjadi bulan-bulanan atau kesembuhan adalah rakyat. Padahal, seperti politik uang itu, karena tidak adanya kemampuan para politisi untuk meyakinkan hati rakyat ada di dalam hatinya. Soalnya, hati para politisi itu bukan tidak diketahui kebusukannya oleh rakyat, tapi rakyat umumnya tak memiliki kemampuan untuk merumuskan bahasa ucapnya yang tengah dan menjengkelkan kepada politisi yang cuma mau enaknya sendiri itu.
Contoh nyata saat menjelang Pilkada, Pileg serta Pilres misalnya, semua mulai berbondong-bondong mendekati rakyat dengan segala cara dan tipu ditanya, untuk kemudian kembali melupakan rakyat, setelah menang apalagi jika kalah dalam pertarungan yang juga selalu saja mengatas namakan demokrasi itu.
Dan demokrasi sendiri untuk rakyat, senantiasa terkesan tidak terlalu penting untuk dibicarakan, apalagi dalam pengertian dan pemahaman demokrasi itu sebagai bagian dari hak yang penting bagi rakyat. Toh, pendidikan demokrasi yang sepatutnya harus dilakukan oleh partai politik nyaris tidak pernah dilakukan untuk rakyat. Jika pun ada semacam pelatihan politik, semua itu tidak lebih dari sekedar indiktrinasi agar rakyat bisa menjadi pendukung pabatifnya yang ‘blokosuto’ saja sifat maupun sikap politiknya yang membabi buta itu.
Karenanya sejak beberapa Pemilu lalu di Indonesia, penulis lebih suka memberi saran kepada berbagai pihak untuk menyikapi budaya politik menjelang Pilkada, Pileg maupun Pilpres menggunakan perlawanan budaya “inggih ora kepanggih” atau “iyo nan di urang, laluan nan di awak”. Sebab politik uang itu inisiatif busuk pada politisi yang cuma ingin memperoleh kemenangan melalui jalan pintas. Karena cara seperti itu adalah politik akal busuk, maka perlu disiasati secara lebih bijak pula.
Istilah pulgarnya anak.muda jaman naw; ambil duitnya tapi jangan pilih orangnya. Sebab hanya dengan cara itu, para politisi busuk itu akan kapok dan, semoga bisa diharap tidak lagi memperlakukan rakyat dengan cara semudah dan setengah itu.
Lalu masalah politik identitas, toh sekedar untuk lebih memberi kesan bodoh pada rakyat juga. Dan rakyat perlu lebih kritis mencermati dan memahami kegaduhan soal politik identitas itu bukan dimaksud untuk tidak menggunakan sebutan calon wanita atau perempuan, tidak juga mengatakan calon berasal dari suku bangsa tertentu, atau agama tertentu, sehingga identitas calon kandidat tak perlu penting dijadikan pertimbangan dalam memilih.
Pendek kata, rakyat diharap tak perlu banyak paham tentang asal usul serta katar belakang kandidat yang bersangkutan, karena rakyat hanya diperlukan untuk memberi legitimasi kemenangan yang dianggap tak perlu juga memahami bagaimana proses pemilihan yang disesumbarkan demokratis itu. Termasuk proses pemilihan atau penunjukan ketua partai yang tidak melalui pemilihan yang dimaksud dari tata cara dan budaya demokrasi yang sesungguhnya.
Jadi, budaya demokrasi dalam budaya kita, boleh saja disebut sedang mencari bentuk, seperti tata kelola partai politik yang cenderung dikelola semacam sebuah holding yang sepenuhnya berada dalam gengganan tangan seorang presiden komisaris, atau seperti tata kelola untuk sebuah negara modern di akhir jaman ini.
Banten, 27 September 2022
(Frisca/TJc)
Komentar